About lying down on the floor looking at the ceiling
Its plainness
The shadows formed by the light bulbs
The uneven white paints
The cracked corners
All so white
So imperfect
Deru asap berarak mengikuti hari yang segan dimulai
Kota yang berkelok-kelok membesarkan kisah-kisah semalam suntuk–
tentang semua yang hidup diatasnya,
yang bernafas, bekerja, dan menunda duka
Siapa sangka langit turut menguap bersama hujan tadi malam?
Sesaat meninggalkan kita dengan genangan dan kenangan
dari semua yang terburu-buru dan tertatih-tatih
dan orang-orang yang lupa melihat ke atas
Tidak ada lagi siapa-siapa di kota kita
Taman-taman gundul dan jalanan ambrol
Rumah-rumah berpagar besi tak lagi melindungi siapa-siapa
Di atas kita langit tinggal ingatan
How’s it feel to be at the center of magic
To linger in tones and words
I opened the floodgates
And found no water, no current, no river, no rush
― Japanese Breakfast, Paprika
Di rumah kecil di atas bukit,
di bawah bintang-bintang yang menatap sayu,
Akhirnya dingin menyelimutiku
Hembusan angin yang bergulung
Membisikkan nina bobo yang halus
Menidurkan, melegakan
Memejamkan, menenangkan
Aku terlelap dalam dekapan musim
Langit di atasku membawaku berlayar mengarungi alam tidur
Malam itu bukan seperti yang lalu-lalu
Tidak ada barang sedikitpun suara sampai di telingaku
Tidak ada deru kendaraan dan tidak ada percakapan
Tidak ada gemerisik daun dan tidak ada gemericik hujan
Tidak ada pekik, pekak, kuak, riak, dan teriak!
Dan pada waktu-waktu yang sunyi ini mataku justru berkaca-kaca
Memantulkan hampa yang telah lama kucari
dan keasingan yang telah lama kurindukan
Di sini, di tempat yang jauh dari kota
Pandanglah kota di bawah yang megah dan sibuk sekali
Pandanglah redup oleh kesia-siaan yang mesra, karena
antara kota yang kita tinggali dan rumah kita sendiri
tiada hubungan lagi. Kita terasing dalam hidup kota berjuta
Padahal kita warganya setia yang cinta padanya
― Ajip Rosidi, Jembatan Dukuh
Pukul dua pagi aku biasa terjaga
Merenung menatap garis-garis di telapak tanganku
Tersesat dalam ingin-angan yang tak pasti
Untuk lalu tidur karena takut lama-lama mati
Jika besok aku masih hidup
Aku mau berjalan sampai ke langit
Tempat kota-kota kecil sembunyi dengan tenang
Aku akan tinggal di sana saja, dengan atau tanpa dirimu
Mungkin kau tak dengar ketika aku bermimpi
dan wajahmu terisi orang lain
Bukannya sudah kubilang rumput pekarangan kalau tak disiangi akan mati
dan kini ia telah mati
Dan aku di sini, tersungkur di samping jejak terakhir tubuhmu
tak menangis, tak tertawa, tak merasa
Namun aku di sini
mungkin kau tak dengar?
Kita tak pernah patah hati, hanya beribu hampir
Dan ketika kita bertanya mengapa hidup begitu hambar kita lalu tertawa
Kita tak pernah jatuh cinta, hanya beribu hampir
Dan ketika kita bosan menanti kita lalu beranjak pergi
Mencari-cari kisah di perjalanan atau mencari jalan-jalan di antara kisah kita
Kita tersandung, terluka, dan berduka
Kita terpuruk, melarat, dan sekarat
Kita memikirkan kata-kata nelangsa untuk merasa semakin nelangsa
Dan ketika kita bertanya mengapa kita tidak pernah tertawa, hanya beribu hampir
Kita terbangun dari usap-usap yang membikin jidat panas
Kita tak pernah mati, hanya beribu hampir
Dan ketika kita bertanya mengapa mati terasa panas, kita sedang benar-benar mati
Malam itu penuh sorak anak-anak kecil yang gelisah. Sudah seharian listrik padam dan mereka kenyang bobo siang. Kota yang hening membuat kita bosan tidur. Semalam tanpa gemerlap membuat kita terjaga menatap satu sama lain. Kau sudah mati.
*
Kau yang di sana atau aku yang di sana? Daun-daun rontok seperti Bandung di bulan Agustus, jalanan yang keemasan melintasi taman-taman yang tutup. Orang-orang menjalani hari kemarin seperti hari ini. Esok tak akan datang.
*
Kau mengaburkan lamunanku yang terlanjur kemana-mana. TV yang menyala menyuarakan kejadian demi kejadian tolol yang terus terjadi setahun belakangan. Kau bilang jari-jarimu terasa dingin sejak minggu lalu kita terakhir bertemu.
*
Hari ini aku kembali memikirkanmu. Pada foto polaroid tertanda Maret, 89 itu aku mengenali pigura lukisan yang sama yang sekarang tertambat pada dinding kamarku. Lukisan cetak saring berbekas rendaman air di sana-sini.
*
Tetapi cerita kita tak lagi sama. Kau telah menjelma jam dinding tanpa baterai yang terus mengecohku untuk terus mempercayai gerakan tanganmu yang diam sementara kau dari balik kaca menatapku berbaring di bawah teritis teras kita. Tik-tok, tik-tok, tik-tok. Kau terus bunyi. Kau belum mati.